Judul postingan RSS Feed : Golkar Serba Salah, Lebih Untung Bela Soeharto atau PDIP? | merdeka.com - merdeka.com
link : Golkar Serba Salah, Lebih Untung Bela Soeharto atau PDIP? | merdeka.com - merdeka.com
Golkar Serba Salah, Lebih Untung Bela Soeharto atau PDIP? | merdeka.com - merdeka.com
Merdeka.com - Presiden ke dua RI Soeharto disebut sebagai guru korupsi. Tuduhan itu diungkapkan oleh Wasekjen PDIP Ahmad Basarah. Pernyataan Basarah mengundang beragam reaksi. Apalagi, diungkapkan saat panas pertarungan Pilpres 2019.
BERITA TERKAIT
Posisi Golkar pun menjadi serba salah. Satu sisi, partai beringin identik dengan Soeharto semasa Orde Baru. Di sisi lain, pada Pilpres 2019, Golkar bersama PDIP dalam satu koalisi mengusung Jokowi-Ma'ruf.
Selama dua bulan kampanye, soliditas koalisi Jokowi-Ma'ruf tak diragukan. Para petinggi parpol kompak. Namun kali ini, hubungan Golkar dan PDIP menjadi sorotan.
Siapa diuntungkan dalam isu Soeharto Guru Korupsi?
Direktur Eksekutif Median, Rico Marbun menilai, pencinta Soeharto di Indonesia masih sangat banyak. Menurut survei, nama Soeharto selalu konsisten berada di tiga besar.
"Secara konsisten dari survei ke survei saat ditanya siapa tokoh nasional, nama Soeharto selalu muncul dalam top 3. Artinya penggemar atau pengagum Pak Harto masih cukup besar," kata Rico saat dihubungi merdeka.com, Kamis (29/11) malam.
Dari sisi itu, Rico mengatakan, Soeharto masih memiliki efek elektoral yang besar dalam setiap kontestasi pemilu. Termasuk pada Pilpres 2019 nanti.
Meskipun dia mengakui, para pengagum Soeharto tak hanya berada di Golkar. Tapi sudah terpecah ke Berkarya, Hanura dan NasDem.
"Serangan terhadap Pak Harto ini bisa membuat segmen demografi tertentu membanding-bandingkan situasi ekonomi antara zaman Jokowi dengan Pak Harto. Yang ujung-ujungnya bisa memobilisasi segmen ini pada 2 partai menurut saya Golkar atau Berkarya," terang Rico.
Rico pun melihat, harusnya Golkar membela habis Soeharto dari tuduhan guru korupsi yang dilontarkan oleh PDIP. Meskipun, pada Pilpres 2019 ini Golkar berada dalam satu kubu dengan PDIP.
"Golkar baiknya membela Soeharto. Karena basis pemilihnya jelas pengagum kesuksesan pembangunan zaman Soeharto. Dan efek elektoral dukungan terhadap Jokowi juga tidak begitu maksimal ke Golkar," tambah dia.
Soal anggapan tak solid, Rico menilai, koalisi Jokowi-Ma'ruf tak perlu khawatir. Tapi, dia menyarankan agar PDIP mengalah dalam isu ini.
"Ada baiknya untuk urusn ini PDIP mengalah sedikitlah kepada Golkar," tutup dia.
Diketahui, polemik soal Soeharto guru korupsi mencuat saat calon presiden Prabowo Subianto awalnya menyinggung dan menyebut tingkat korupsi saat ini layaknya stadium kanker empat.
Hal ini direspon oleh kubu Jokowi-Ma'ruf. Yang memandang bahwa korupsi itu marak terjadi di masa pemerintahan Soeharto, yang notabenenya mantan mertuanya Prabowo.
"Jadi, guru dari korupsi indonesia sesuai TAP MPR Nomor 11 tahun 1998 itu mantan Presiden Soeharto dan itu adalah mantan mertuanya Pak Prabowo," kata Basarah usai menghadiri diskusi di Megawati Institute, Menteng, Jakarta , Rabu (28/11).
Polemik itu mengundang reaksi Partai Berkarya. Seluruh anak Soeharto saat ini bergabung dengan partai pimpinan Tommy Soeharto tersebut.
Ketua DPP Partai Berkarya, Badaruddin Andi Picunang, menempatkan sosok Soeharto sebagai tokoh ideologi partainya.
"UU korupsi sudah ada sejak jaman Hindia Belanda, maka julukan Bapak Korupsi tidak layak dialamatkan pada HM Soeharto Presiden RI ke-2 yang memiliki jasa membangun bangsa ini. Ia tidak pernah belajar, apalagi di jaman beliau jarang ada korupsi seperti saat ini," jelas Badaruddin.
Reaksi Golkar
Ketua Pemenangan Golkar wilayah Sumatera, Indra Bambang Utoyo mengatakan, harusnya Pilpres 2019 tidak masuk pada hal-hal seperti ini. Seharusnya, kata dia, dalam berkampanye lebih baik yang bersifat menjual program.
"Karena makna kampanye kan untuk menjual diri yang positif, sehubungan dengan janji berbuat untuk kemashalatan publik yang akan memilih," kata Indra saat dihubungi merdeka.com, Kamis (29/11).
Indra minta pertarungan saling tuduh di Pilpres 2019 segera disudahi. Sebab, hal demikian hanya membuat perpecahan bangsa saja.
Dia pun mengajak kubu Jokowi dan Prabowo membahas hal-hal yang substantif demi kepentingan rakyat.
"Rasanya terbaik kita hentikan saling tuduh menuduh itu, malah membuat perpecahan saja. Ini harusnya berlaku pada 2 kelompok peserta pilpres. Jadi kita tutup saja diskusi-diskusi yang seperti ini, tidak ada gunanya untuk kepentingan bangsa ke depan," kata Indra.
Dia mengajak Jokowi dan Prabowo bersama timnya fokus membahas program kerja. Dia pun mengajak media untuk mengingatkan agar para capres dan cawapres bertarung membahas program saja.
PDIP tanggapi Golkar
PDIP sebagai rekan satu koalisi Golkar melihat, apa yang disampaikan Basarah menanggapi pernyataan Capres Prabowo Subianto. Orde Baru pimpinan Soeharto tak bisa dipungkiri menjadi topik jika mengangkat korupsi akut.
Politikus PDIP Eva Kusuma Sundari, melihat Presiden Jokowi sudah berusaha membenahi korupsi. Eva mengatakan, indeks korupsi membaik, anak presiden pun tak berurusan dengan politik.
"Indonesia juga lepas dari kutukan negara paling korup seperti zaman Orba, tidak lagi tercantum di 20 negara terkorup. Bahkan polisi dan TNI sekarang menjadi lembaga yang integritasnya baik," kata Eva kepada merdeka.com, Kamis (29/11).
"Jadi mau tidak mau basis data soal korupsi ya terpaksa dikaitkan Orba. Jadi pesan Partai Golkar lebih pas ditujukan ke Prabowo Subianto, bukan Ahmad Basarah," sebut Eva.
Dia pun heran, Prabowo bicara pemberantasan korupsi. Sebab, Prabowo tak lain adalah bekas mantu Soeharto.
"Memang aneh jika pak Prabowo Subianto yang berada di rezim KKN kemudian asbun tidak melihat tengkuk sendiri. Selama itu pula peran beliau tidak ada untuk menghentikan KKN," pungkasnya. [rnd]
Berita teratas - Google Berita
Demikianlah Artikel Golkar Serba Salah, Lebih Untung Bela Soeharto atau PDIP? | merdeka.com - merdeka.com
Anda sekarang membaca artikel Golkar Serba Salah, Lebih Untung Bela Soeharto atau PDIP? | merdeka.com - merdeka.com dengan alamat link https://subscribe-id.blogspot.com/2018/11/golkar-serba-salah-lebih-untung-bela.html
No comments: