Seo Services
Seo Services

Kisah Ngasirah Ibu Kandung Kartini, Menjadi Selir karena Tak Berdarah Biru, Memanggil Ndoro pada Anak - Kompas.com - KOMPAS.com

Kisah Ngasirah Ibu Kandung Kartini, Menjadi Selir karena Tak Berdarah Biru, Memanggil Ndoro pada Anak - Kompas.com - KOMPAS.com - Hallo pembaca Feed Digital Indonesia, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Kisah Ngasirah Ibu Kandung Kartini, Menjadi Selir karena Tak Berdarah Biru, Memanggil Ndoro pada Anak - Kompas.com - KOMPAS.com, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi di dalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Artikel populer - Google Berita ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul postingan RSS Feed : Kisah Ngasirah Ibu Kandung Kartini, Menjadi Selir karena Tak Berdarah Biru, Memanggil Ndoro pada Anak - Kompas.com - KOMPAS.com
link : Kisah Ngasirah Ibu Kandung Kartini, Menjadi Selir karena Tak Berdarah Biru, Memanggil Ndoro pada Anak - Kompas.com - KOMPAS.com

Baca juga


Kisah Ngasirah Ibu Kandung Kartini, Menjadi Selir karena Tak Berdarah Biru, Memanggil Ndoro pada Anak - Kompas.com - KOMPAS.com

KOMPAS.com - Radeng Ajeng Kartini lahir di Jepara pada 21 April 1879 di keluarga priyayi.

Sang ayah, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara segera setelah Kartini lahir.

Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama.

Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.

Baca juga: Sejarah Hari Kartini dan Sosok Putri Jawa Pejuang Emansipasi

Kala itu, peraturan kolonial adalah mewajibkan soerang bupati beristrikan bangsawan.

Karena Ngasirah bukan bangsawan tinggi, maka Ario Sosroningrat menikah dengan Raden Adjeng Woejan keturunan langsung dari Raja Madura.

Ngasirah memiliki delapan anak. Mereka adalah R.M Slamet, R.M Boesono, R.M Kartono, R.A Kartini.

Baca juga: Kartini, Kota Jepara, dan Seni Ukir Berkelas Dunia

Lalu R.A Kardinah lahir, R.M Moeljono, RA Soematri, dan R.M Rawito.

Dalam buku Kartini Guru Emansipai Perempuan Nusantara yang ditulis Ready Susanto diceritakan jika Kartini lahir di dalam gedung keasistenwedanaan.

Sang ayah, Sosroningrat mengadakan kenduri bubur merah dan bubur putih untuk bayi perempuan yang kemudian diberi nama Kartini.

Baca juga: Berkunjung ke Pantai Kartini di Jepara, ada Kura-kura Ocean Park dan Cerita Encik Lanang

Bukan keturunan darah biru

Wisatawan mancanegara yang mengenakan busana kebaya dan sanggul mengamati gambar RA Kartini saat peringatan Hari Kartini di sebuah hotel kawasan Legian, Badung, Bali, Minggu (21/4/2019). Kegiatan tersebut digelar untuk mengenalkan sejarah dan budaya Indonesia khususnya perjuangan RA Kartini dan busana kebaya kepada wisatawan mancanegara sekaligus memberikan hiburan bagi tamu hotel.ANTARA FOTO/FIKRI YUSUF Wisatawan mancanegara yang mengenakan busana kebaya dan sanggul mengamati gambar RA Kartini saat peringatan Hari Kartini di sebuah hotel kawasan Legian, Badung, Bali, Minggu (21/4/2019). Kegiatan tersebut digelar untuk mengenalkan sejarah dan budaya Indonesia khususnya perjuangan RA Kartini dan busana kebaya kepada wisatawan mancanegara sekaligus memberikan hiburan bagi tamu hotel.
Pengamat Sejarah Edy Tegoeh Joelijanto (50) yang pernah mengenyam pendidikan di UKDW Yogyakarta dan Universitas Putra Bangsa Surabaya, mengatakan Ngasirah, ibu kandung Kartini bukan keturunan darah biru.

Karena aturan kolonial, Sosroningrat menikah dengan Raden Adjeng Woejan keturunan dari Raja Madura.

Otomatis, status Ngasirah turun menjadi selir walaupun sudah melahirkan delapan anak.

Ngasirah pun berstatus selir dan harus memanggil anak-anaknya sendiri dengan sebutan "ndoro" atau majikan.

Baca juga: Ngasirah, Sosok di Balik Perlawanan Kartini terhadap Ketidakadilan

Dan putra-putri Ngasirah diharuskan memanggil Ngasirah dengan sebutan "Yu" atau panggilan untuk perempuan abdi dalem.

Sebagai selir, Ngasirah pun tidak berhak tinggal di rumah utama kabupaten melainkan tinggal di bagian belakang pendapa.

Namun Kartini lebih sering memilih tinggal dengan Ngasirah dan menolak memanggilnya "Yu".

Kartini juga memberikan syarat mau menikah jika ibu kandungnya itu dibebaskan masuk pendapa.

Baca juga: Asal-usul Jepara, dari Ratu Kalinyamat hingga Tempat Lahirnya Kartini

"Memori-memori kelam itulah yang mendorong Kartini menolak segala ketidakadilan saat itu terutama yang bersinggungan dengan perempuan Jawa. Bahkan, dari berbagai literatur menyebut Kartini tidak malu mengakui jika ibunya itu adalah keturunan rakyat biasa," kata Tegoeh saat dihubungi Kompas.com melalui ponsel, Selasa (28/4/2020).

Dalam tulisannya, Kartini menentang praktik poligami.

"Bagaimana saya bisa menghormati seseorang yang sudah kawin dan menjadi ayah dan kemudian, bila bosan pada anak-anaknya, ia dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya secara sah sesuai dengan hukum Islam ?" tulis Kartini kepada Stella Zeehandelaar.

"Dapatkah kamu membayangkan siksaan yang harus diderita seorang perempuan jika suaminya pulang bersama perempuan lain sebagai saingannya yang harus diakuinya sebagai istrinya yang sah ?" sambung Kartini.

Baca juga: Sambut Hari Kartini, Anak-anak Ngabuburit Berkebaya Sambil Main Sepatu Roda

Menikah dengan Bupati Rembang

Kartini sedang membatik dengan adik-adiknya Rukmini (tengah) dan Kardinah (kiri). (Dok Museum Pusat Jakarta/Arsip Kompas) Kartini sedang membatik dengan adik-adiknya Rukmini (tengah) dan Kardinah (kiri).
Kartini menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Joyodiningrat pada November 1903 di usia 24 tahun.

Suaminya itu sudah memiliki tujuh anak dan dua selirinya. Bahkan, putri tertua suaminya itu hanya berselisih delapan tahun dengan Kartini.

Joyodiningrat menduda sejak garwo padmi atau istri utama meninggal

Selain permintaan agar sang ibu bisa masuk ke pendopo, Kartini juga mengajukan syarat lain untuk menerima pinangan sang Bupati Rembang.

Baca juga: Hari Kartini, Mengenal Lebih Dekat Kebaya dan Sejarahnya

Dalam buku Kartini Guru Emansipai Perempuan Nusantara yang ditulis Ready Susanto, Kartini meminta diperbolehkan membuka sekolah dan mengajar putri-putri pejabat Rembang seperti yang ia lakukan di Jepara.

Syarat lain yang lebih radikal adalah terkait prosesi upacara penikahan. Kartini tak mau ada prosesi jalan jongkok, berlutut, dan menyembah kaki mempelai pria.

Terakhir dia akan berbicara Bahasa Jawa ngoko bukan kromo inggil pada suaminya untuk menegaskan bahwa seorang istri harus sederajat.

Baca juga: Hari Kartini ala Semarang Doll Lovers, Menyuguhkan Boneka dalam Balutan Kebaya Etnik

Semua syarat yang diajukan Kartini diterima oleh Joyodiningrat.

Selain karena pemikirannya yang modern, Kartini ternyata sosok yang dikagumi mending istri Joyodiningrat, Sukarmilah.

Sebelum meninggal sang istri berpesan agar Joyodiningrat menikah dengan Kartini.

Setelah menikah, Kartini mendukung langkah suaminya memberantas candu yang bertentangan dengan anggota Dewan Hindia.

Baca juga: Sup Pangsit Jepara, Menu Fusion Tertua Kesukaan RA Kartini

"Tengoklah, jadi bukannya rakyat yang tak mau berhenti mengisap candu, tapi pemerintah, Pahit, tapi benar, kutuk terhadap orang Jawa adalah suatu kekuatan hidup bagi pemerintah," tulis Kartini kepada Ny. Abendanon, 10 Agustus 1904.

Kartini tutup usia pada 17 September 1904, empat hari setelah melahirkan putra pertama sekaligus anak terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat.

Wafat diusia 25 tahun, Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang, Jawa Tengah.

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Puthut Dwi Putranto Nugroho | Editor : Dony Aprian)

Let's block ads! (Why?)



Artikel populer - Google Berita


Demikianlah Artikel Kisah Ngasirah Ibu Kandung Kartini, Menjadi Selir karena Tak Berdarah Biru, Memanggil Ndoro pada Anak - Kompas.com - KOMPAS.com

Sekianlah artikel Kisah Ngasirah Ibu Kandung Kartini, Menjadi Selir karena Tak Berdarah Biru, Memanggil Ndoro pada Anak - Kompas.com - KOMPAS.com kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di RSS postingan selanjutnya.

Anda sekarang membaca artikel Kisah Ngasirah Ibu Kandung Kartini, Menjadi Selir karena Tak Berdarah Biru, Memanggil Ndoro pada Anak - Kompas.com - KOMPAS.com dengan alamat link https://subscribe-id.blogspot.com/2021/04/kisah-ngasirah-ibu-kandung-kartini.html
Kisah Ngasirah Ibu Kandung Kartini, Menjadi Selir karena Tak Berdarah Biru, Memanggil Ndoro pada Anak - Kompas.com - KOMPAS.com Kisah Ngasirah Ibu Kandung Kartini, Menjadi Selir karena Tak Berdarah Biru, Memanggil Ndoro pada Anak - Kompas.com - KOMPAS.com Reviewed by eela on April 20, 2021 Rating: 5

No comments:

ads 728x90 B
Powered by Blogger.